MARI KITA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK, BUKAN SEKEDAR PRIBADI YANG BAIK
MARI KITA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK,
BUKAN SEKEDAR PRIBADI YANG BAIK
Oleh : Ahmad Ulinnuha Rozy
Pernahkah kita berseru pada diri sendiri untuk menjadi warga negara yang baik ?
Jika belum, mari mulai hari ini kita niatkan harapan baik tersebut. Yaitu menjadi "warga negara yang baik", lebih dari sekadar menjadi "individu yang baik". Sebab, dengan menjadi warga negara, kita sesungguhnya tak hanya sedang memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga kepentingan bersama. Dari sinilah, kita beranjak dari cuma menjadi makhluk individual, menjadi makhluk sosial.
Contoh penerapan menjadi warga negara yang baik bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari: di rumah, jalan raya, masjid, kantor, pasar, media sosial, dan lain sebagainya. Di jalan raya, misalnya, warga negara yang baik tidak akan menerobos lampu merah. Di dunia maya, warga negara yang baik tidak mudah mengumbar kata-kata kebencian atau kabar yang belum jelas kebenarannya. Di masjid, warga negara yang baik lebih suka membangun ukhuwah (persaudaraan) ketimbang memojokkan orang/golongan lain. Mengapa? Karena warga negara yang baik akan selalu memikirkan kepentingan yang luas daripada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya sendiri.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
المتعدّى افضل من القاصر
“Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama ketimbang yang terbatas untuk kepentingan sendiri.”
Momen yang sarat dengan hiruk pikuk politik seperti sekarang ini adalah tepat bagi kita untuk menghidupkan kembali kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik. Hal tersebut tidak lepas dari kenyataan bahwa politik kerapkali menjerumuskan sebagian orang ke dalam perbuatan tercela (akhlaq madzmûmah): permusuhan, adu domba, fitnah, dengki, riya', risywah (suap), bohong, dan lain sebagainya.
Islam bukan agama yang anti-politik. Bahkan, karena terkait dengan persoalan kepemimpinan, politik menjadi hal yang niscaya.
Imam Al-Ghazali mengaitkan pentingnya pemimpin dengan kelestarian agama sebagai berikut:
المُلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang. Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.”
(Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ Ulumiddin,Juz 1, h.5)
Namun demikian, politik dalam Islam tak pernah menjadi tujuan akhir (ghâyah). Melainkan wasîlah, perantara menuju tercapainya tujuan sebuah negara, yakni kemaslahatan bersama. Negara tak hanya wajib memberi jaminan keamanan dan kebebasan bagi tiap orang untuk beribadah kepada Allah tapi juga mesti punya iktikad sungguh-sungguh menyejahterakan warganya serta menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dengan bahasa lain, politik sesungguhnya merupakan sesuatu yang baik, atau paling tidak: netral. Hanya saja, ia nama baiknya sering ternoda karena tingkat sebagian elite politik yang tak mengindahkan etika yang digariskan syariat. Dari sinilah, bencana moral lantas meluas ke masyarakat akibat provokasi, mobilisasi, dan politisasi setiap lini oleh kalangan politisi. Masyarakat pun kerap tergiring ke arah tindakan-tindakan yang tak selaras dengan nilai-nilai Islam.
Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga bahaya yang perlu diwaspadai saat musim pemilihan umum atau pergantian kekuasaan datang. Pertama, mengorbankan kepentingan bersama untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok secara terbatas.
Fanatisme dukungan yang diberikan kepada calon tertentu acapkali menyeret seseorang hanya berpikir pada lingkup yang sangat sempit. Pembelaan dilakukan secara mati-matian kepada calon yang didukung, sementara di sisi lain permusuhan dialamatkan secara berlebihan kepada lawan politiknya. Situasi inilah yang kadang membuat orang gelap mata untuk melakukan serangan-serangan secara verbal, baik di media sosial ataupun kehidupan sehari-hari, tak hanya kepada sang calon pemimpin tapi juga para pendukungnya. Caci maki, saling hujat, serta kata-kata kotor bertebaran di mana-mana, tanpa ingat bahwa sebelum terlibat dalam politik dukung-mendukung, mereka lebih dulu adalah saudara dalam satu rumah bernama “Indonesia”.
Fanatisme dukungan yang berlebihan membuat banyak orang lupa bahwa masing-masing mereka sedang mengorbankan persatuan dan perdamaian, untuk tujuan jangka pendek politik. Akhlak Islam yang amat menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian pun ditinggalkan, demi pilihan politik yang bisa jadi benar bisa jadi salah. Padahal, kerukunan adalah kepentingan bersama, sementara urusan dukung-mendukung adalah soal aspirasi pribadi atau kelompok. Jangan sampai kita terperdaya, sehingga yang terakhir ini lebih prioritas dibanding yang pertama.
Bahaya kedua adalah bersikap tidak adil (objektif) kepada orang lain karena diliputi rasa benci. Kondisi ini lazimnya bermula dari tumbuhnya kebencian berlebihan kepada sesama. Penyakit hati satu ini merupakan dampak dari persepsi negatif kepada seseorang yang terus menumpuk. Opini buruk tentang seorang calon pemimpin yang diterima terus-menerus tanpa klarifikasi, bisa mengubah orang yang semula biasa-biasa saja menjadi amat membenci si calon tersebut. Kebencian yang terus dipupuk akan meningkat statusnya kepada permusuhan. Dimulai dari membenci, kemudian memusuhi. Calon pemimpin yang tak disukai dilihat dalam citra yang selalu negatif. Sebaliknya, calon pemimpin yang didukung dielu-elukan, nyaris tanpa kritik sama sekali.
Situasi semakin parah ketika kebencian meningkat levelnya dari membenci individu kepada membenci kelompok, dari membenci seorang calon pempin kepada membenci semua orang yang mendukungnya. Gontok-gontokkan pun menjadi kian ramai. Masing-masing pendukung menunggu atau mencari-cari kesalahan lawan politik untuk kemudian diserang habis-habisan, sementara kelemahan sang idola tak pernah disinggung—bahkan dicitrakan seolah-olah baik seratus persen.
Padahal, dalam Islam, tak ada manusia yang selalu jahat dan salah seperti setan, sebagaimana tak ada pula manusia yang selalu baik dan benar selayak malaikat. Sebagai manusia, politisi adalah orang-orang yang berpotensi keliru. Bahkan, untuk calon dengan gagasan cemerlang pun, tak ada jaminan pasti bahwa ia selalu mulus dalam melaksanakan program-programnya kelak. Mempunyai pilihan politik berdasarkan kriteria ideal adalah hak dan harus, tapi memutlakkan manusia-manusia politik itu sebagai “setan” yang mesti dibenci setengah mati adalah tak masuk di akal.
Rasulullah ﷺbersabda:
أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا
"Cintailah idolamu sewajarnya, karena boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.” (HR Tirmidzi)
Hadits tersebut memberi pesan bahwa kondisi manusia sejatinya sangat dinamis. Karena itu kita diperintahkan untuk berlaku sedang-sedang saja. Pilihan dukungan ditetapkan dengan kepala jernih, dan energi yang dikerahkan untuk mendukung pun mesti dilaksanakan dengan bijaksana. Dengan sikap politik yang proporsional seperti ini, kita bisa lebih tenang menghadapi persaingan politik, termasuk dengan saudara-sadara kita yang berpeda pilihan.
Firman Allah ﷻ yang penting kita renungkan bersama dalam hal ini adalah ayat 8 Surat al-Maidah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Maa’idah: 8)
Kitab Tafsîr Jalâlain menjelaskan bahwa kata “kaum” dalam ayat tersebut adalah mengacu pada orang-orang kafir. Artinya, ayat tersebut melarang kaum mukmin gelap mata akibat kebencian sehingga berlaku tidak adil kepada kaum kafir. Secara sederhana bisa dianalogikan bahwa bila kepada orang kafir saja, Islam memerintahkan kita berbuat adil, apalagi kepada sesama umat Islam, dan apalagi sesama anak bangsa.
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar