Sejarah Awal Kemunculan Pondok Pesantren
Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh peloksok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli sejarah. Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja—memandang pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.
Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk. Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh Islam.
Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren.
Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul pesantren berasal dari India.
Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren. Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai berikut:
"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri)."
Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air dalam bentuk pesantren.
Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-laki dan nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.
Demikian juga kata ngaji yang digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di pesantren berasal dari kata aji yang berarti terhormat dan mahal. Kata ngaji biasanya disandingkan dengan kata kitab; ngaji kitab yang berarti "kegiatan santri pada saat mempelajari kitab yang berbahasa Arab". Oleh karena santri banyak yang belum mengerti Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan. Kegiatan mencatat terjemahan ini di pesantren biasa dikenal dengan istilah njenggoti, karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan.
Alasan lain yang menolak kesimpulan bahwa tradisi kitab kuning yang berbahasa Arab berasal dari Arab adalah pendapat Mahmud Yunus. Menurutnya, kitab kuning yang dijadikan materi ajar utama di pesantren baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelum itu para kiai menulis kitab-kitab dengan tangan mereka yang dijadikan bahan dalam pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan mulai dikenal secara luas di dunia Islam dan beberapa kitab dicetak secara massal, mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia. Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab kuning di pesantren mulai mengambil peran. Kemudian, harus diakui bahwa beberapa kitab kuning yang dijadikan sumber belajar di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia yang belajar dan menjadi syekh di Haramain, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar. Dengan demikian, sangatlah tidak logik jika dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari Arab.
Hal penting lainnya adalah bahwa penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab di pesantren tidak dapat dihindari karena Mekah dan Madinah merupakan kiblat bagi umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam di pesantren mengacu kepada model yang dicontohkan Rasulullah Saw. Bagi para kiai, Rasulullah saw. dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa itu sendiri. Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam mengembangkan pesantren juga mengacu kepada para wali yang berjumlah sembilan di Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa dipandang sebagai model domestik yang perlu dicontoh untuk pengembangan pendidikan di pesantren. Ini berarti bahwa pesantren merupakan lembaga yang unik di Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas Indonesia.
Pendapat bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu di India seperti yang dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan bahwa keberadaan pesantren di Jawa terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu. Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa memperbaharui kembali melalui sembernya sendiri. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sumber terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Mekah—pusat orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua adalah Madinah—dimana Nabi membangun masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya adalah, hampir semua pengarang Islam dan ulama Indonesia menghabiskan banyak waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat-pusat pengajaran di Timur Tengah.
Selanjutnya, kapan kemunculan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia? Beberapa sumber tidak menyebutkan secara gamblang tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, yang didirikan pada tahun 1062. Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.
Temuan Departemen Agama tentang keberadaan pesantren tertua di Indonesia di atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari (salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur) merupakan pesantren tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok. Pada umumnya, pada tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar Jawa masih berbentuk informal dengan pusat kegiatannya di mesjid.
Terlepas dari perdebatan panjang dan berliku tentang asal-usul kemunculan pesantren, pada sisi yang lain pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah masyarakat selalu direspon positif oleh masyarakat. Respon positif masyarakat tersebut digambarkan oleh Zuhairini sebagai berikut:
"… bahwa pesantren didirikan oleh seorang kiai dengan bantuan masyarakat dengan cara memperluas bangunan di sekitar surau, langgar atau mesjid untuk tempat mengaji dan sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu anak-anak tak perlu bolak-balik pulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak menetap tinggal bersama kiai di tempat tersebut."
Ilustrasi Zuhairini di atas menunjukkan bahwa kehadiran pesantren merupakan kebutuhan masyarakat, mengingat keberadaan surau, langgar, dan mesjid sudah tidak memadai lagi sebagai lembaga pendidikan Islam. Dengan respon positif masyarakat tersebut, didirikanlah pesantren-pesantren di seluruh pelosok Indonesia, sehingga jumlah pesantren di Indonesia menjadi ribuan. Manfred Ziemek (salah seorang peneliti pendidikan Islam di Indonesia asal Jerman), mengutip temuan UNESCO bahwa pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia. Data ini menurut Ziemek belum akurat, karena pada 1971 Bank Dunia memperoleh data bahwa jumlah pesantren di seluruh Indonesia ada 11.000 buah. Setelah dicek oleh Ziemek, ternyata UNESCO memasukkan pendidikan Islam di surau, langgar, dan masjid ke dalam hitungan jumlah pesantren. Data paling anyar dikemukakan Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, Abdul Jamil yang mengatakan, jumlah pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 25.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta jiwa.
Semoga bermanfaat...
Oleh: Abunabiel Abdul Wahid Al-Faqier
Komentar
Posting Komentar